Pemasaran dan Persepsi
Kalau Anda merasa bahwa diri Anda adalah manusia paling rasional, yang melihat sesuatu dari akal manusia, maka Anda salah besar. Di dunia marketing, tidak ada manusia yang rasional. Bahkan orang paling rasional pun menjadi tidak rasional pada saat berhadapan dengan dunia marketing.
Contohnya, banyak ibu rumah tangga memilih Rinso karena dianggap mencuci lebih bersih. Padahal ada banyak merek deterjen lain yang mencuci lebih bersih. Mengapa pula banyak orang menganggap Paramex lebih manjur dibandingkan obat lain, padahal komposisi kandungannya mirip-mirip dengan yang lain? Kedua merek ini bisa menjadi market leader (pemimpin pasar) sekalipun dari sisi kualitas maupun harga, ada yang lebih baik. Mengapa pula Avanza lebih laku dibandingkan
Jadi, manusia memang tidak bisa (atau sempat) mengevaluasi terlebih dahulu semua produk yang akan dibelinya. Begitu banyak informasi yang masuk sehingga membuat manusia mengandalkan persepsinya, kemauannya sendiri dan bahkan emosinya sendiri. Bersyukurlah kita karena manusia mengandalkan persepsi untuk membeli! Kalau mereka semua mengandalkan rasio maka hanya segelintir merek di dunia ini yang bisa bertahan.
Merek A bisa bertahan karena mengandalkan sekelompok orang yang memiliki persepsi yang baik terhadap merek A. Demikian sebaliknya, merek B bisa bertahan karena menyasar sekelompok orang lain yang memiliki persepsi yang baik terhadap merek B. Kalau semua orang bisa mengevaluasi dan melihat bahwa merek A memang memiliki kualitas yang lebih baik (dan bahkan harga yang lebih murah), maka semua orang akan memilih merek A.
Karena persepsi yang berbedalah yang membuat setiap orang punya pilihan yang berbeda. Persepsi adalah sesuatu yang dinilai atau dianggap secara subyekif oleh seseorang. Karena subyektivitas inilah yang membuat persepsi manusia bisa salah (dan ternyata kebanyakan juga salah!). Produk yang lebih jelek bisa dipersepsi lebih bagus dibandingkan yang lain.
Lalu apa sebenarnya yang membentuk persepsi? Lingkungan budaya, sosial, politik, ekonomi, demografis sampai gaya hidup bisa membentuk persepsi konsumen. Masyarakat perkotaan mungkin memilih bank yang terlihat megah karena dianggap memiliki aset banyak sehingga tidak akan bangkrut. Sementara masyarakat pedesaan mungkin lebih memilih bank yang bersahaja namun bersahabat.
Masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah umat muslim selalu mengaitkan Islam dengan warna hijau. Itulah sebabnya hampir semua produk yang bernuansa Islam biasanya mempergunakan warna hijau. Sementara hijau bisa diartikan orang lain sebagai produk ramah lingkungan.
Orang-orang yang cenderung berhaluan liberal menganggap sensualitas adalah bagian dari hak asasi manusia, sementara orang yang menganut paham konservatif melihatnya sebagai ketidaksenonohan. Ketika saya melakukan survei iklan di enam kota besar di Indonesia, ternyata mayoritas responden yang disurvei menganggap bahwa iklan Lux adalah iklan yang sensual. Padahal kalau saya melakukan observasi ke orang-orang iklan, semuanya mempertanyakan dimanakah letak sensualitasnya, sambil memberi contoh iklan-iklan lain yang lebih banyak memamerkan paha dan bagian sensitif wanita lainnya.
Unsur demografis seperti jenis kelamin, usia, pendapatan dan lain-lain bisa mempengaruhi persepsi. Semakin tua misalnya, persepsi kita makin berubah. Dulu ketika masih kanak-kanak, kita menyukai produk dengan aneka warna. Semakin beraneka warna semakin menarik. Ketika dewasa, membeli produk yang terlalu penuh dengan aneka warna kelihatan ”norak”.
Ada orang-orang yang menyukai gaya hidup berpetualang. Mereka menganggap mobil yang baik adalah mobil dengan kapasitas silinder besar dan mampu melewati medan sulit apapun. Sebaliknya orang yang gaya hidupnya family oriented menganggap mobil yang baik adalah mobil yang irit bahan bakar dan memuat banyak penumpang.
Itulah sebabnya jika Anda ingin menjadi seorang yang bekerja di dunia marketing, jangan pernah berpikir bahwa konsumen Anda adalah orang yang rasional. Banyak orang yang memiliki produk yang bagus merasa bahwa produknya akan laris. Padahal, meyakinkan orang bahwa produknya lebih bagus dari yang lain adalah pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi jika persepsi konsumen sudah lebih kuat pada produk yang lain. Kalau Anda merasa punya kopi yang enak, apakah Anda bisa mengalahkan kopi kapal api, yang memiliki slogan ”jelas lebih enak”? Atau, jika Anda bisa memproduksi mobil yang andal apakah Anda bisa mengalahkan Kijang yang selama puluhan tahun terkenal karena ”bandelnya”?
Tapi anda jangan berputus asa, karena sulit bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Persepsi ternyata juga bisa berubah. Semuanya tergantung pada bagaimana kita memberikan informasi kepada konsumen. Persepsi dibentuk dan berubah karena informasi yang masuk ke kepala konsumen. Itulah sebabnya marketer sering terlibat dalam ”perang iklan” untuk memasukkan (menjejalkan) informasi ke memori konsumen.
Seperti yang kita lihat yang terjadi pada perang kartu selular di Indonesia. Semua berusaha meyakinkan konsumen bahwa tarifnya lebih murah dibandingkan merek yang lain. Bahkan merek yang tarifnya sebenarnya lebih mahal pun beriklan bahwa mereknya lebih murah. Mereka semua bermain dengan persepsi konsumen. Jika tarifnya dihitung per menit lebih mahal, mereka merubahnya menjadi per detik. Sebagai konsumen seringkali Anda mudah tergoda membeli karena harga murah. Bayangkan jika ada tarif selular seharga 300 rupiah per menit sementara ada penawaran dari kompetitornya sebesar 6 rupiah per detik, mana yang akan Anda pilih?
Sebagian besar konsumen mungkin akan memilih yang kedua karena terkesan lebih murah. Padahal kalau Anda bicara selama satu menit, Anda harus mengeluarkan uang 360 rupiah, yang artinya nilainya lebih besar. Kondisi ini yang sering saya sebut sebagai price illusion, atau ilusi harga. Konsumen merasa lebih cerdas karena memilih yang sebesar 6 rupiah, padahal mereka belum tentu berpikir rasional.
Namun apakah salah jika kita mengatakan bahwa bahwa 6 rupiah per detik lebih menguntungkan? Bisa jadi ya. Jika pemasar yang pertama selalu membulatkan tarifnya ke menit dan Anda selalu menelepon di bawah 50 detik, Anda mengeluarkan uang yang lebih sedikit. Jadi, semua tergantung sudut pandang mana kita melihat.
Itulah sebabnya, dunia marketing adalah dunia yang relatif. Jangan jadi orang marketing kalau hanya berpikir secara absolut. Di dunia marketing tidak ada kebenaran absolut, karena semuanya bergantung kepada persepsi!
HIDUP kita sekarang ini telah terkepung oleh iklan. Iklan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari industri komunikasi. Simak saja di semua media massa (cetak maupun elektronik). Semuanya memiliki ikatan yang kuat dengan iklan. Bahkan, iklan menjadi ''nyawa''. Tanpa iklan, mustahil rasanya eksistensi sebuah media massa akan bertahan lama.
-----------------------------------
Dalam pemaknaan terkait dengan fungsinya, iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang -- dalam terminologi Yasraf Amir Piliang -- hiper-realistik. Apa yang ditampilkan dan dihadirkan oleh iklan bukanlah realitas (sosial, politik, ekonomi maupun budaya) yang sesungguhnya. Sesuatu yang tampak dan hadir dalam iklan sebenarnya tidak lebih dari ilusi atau rayuan terapeutis yang tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Tanda-tanda atau citra iklan tidak merefleksikan realitas, meskipun sebenarnya berusaha bercerita tentang realitas.
Dari sisi orientasi, iklan memiliki tujuan menggaet konsumen untuk membeli sebuah produk. Oleh karena itu, di dalam iklan ada kekuatan magis karena mampu mentransformasikan komoditas ke dalam pertanda yang glamor. Padahal, apa yang dihadirkan oleh pertanda tersebut sebenarnya sesuatu yang imajiner. Karena bersifat magis, iklan mampu menyihir konsumen untuk membeli sebuah komoditas.
Salah satu elemen yang menentukan dimensi magis dalam iklan adalah hadirnya sosok perempuan. Perempuan telah menjadi bagian sangat erat dari iklan. Eksistensinya diyakini dapat menggaet secara optimal minat konsumen terhadap suatu produk. Perempuan memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat dalam mempromosikan sebuah produk.
Walaupun memiliki posisi strategis, kehadiran perempuan dalam iklan sebenarnya sebuah dilema. Pada satu sisi, ia memiliki tugas membujuk nafsu beli melalui penikmatan zone erogen. Sementara di sisi yang lain, ia diletakkan dalam posisi yang tidak jelas. Apakah kehadirannya sekadar sebagai penyedap, mempertajam setting konsumerisme masyarakat, atau sekadar sebagai unsur pelengkap. Selebihnya, posisi perempuan justru menjadi sasaran dari iklan itu sendiri.
Dalam iklan, selain bahasa tubuh model, bahasa oral pun menjadi kias yang tidak dapat dirasionalkan. Jika kata-kata tidak mampu mendeskripsikan secara utuh pesan yang ingin disampaikan, maka organ tubuh perempuan model dalam iklan difungsikan sebagai bahasa diam yang visualistis. Maka, bahasa iklan (suara maupun olah tubuh) menjadi medium fantasi manusia dewasa.
Menghadapi Kapitalisme
Perempuan sesungguhnya tidak hanya berhadapan dengan kaum laki-laki, tetapi berhadapan dengan musuh besar yang tidak mungkin ditaklukkan, yaitu kapitalisme. Dalam relasi gender, laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur relasi gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan ini tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tetapi juga menjadikan perempuan tersubordinasi oleh perempuan sendiri. Hal ini tampak dari posisi yang ditempati oleh perempuan dalam iklan, di mana pada satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di dalam menegaskan citra sebuah produk. Sementara pada sisi yang lainnya, perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi produk kapitalisme. Dua posisi ini telah mentransformasikan, tidak hanya kehidupan perempuan yang terlibat dalam iklan dan perempuan yang diacu oleh iklan, tetapi juga telah menata ulang keseluruhan hubungan dan tatanan sosial dalam suatu masyarakat, termasuk pola relasi gender.
Namun, peran perempuan dalam iklan sebenarnya bersifat ambigu. Iklan merupakan ruang gerak baru yang telah memungkinkan perempuan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri. Keseluruhan konsep perempuan kemudian mengalami transformasi, dari perempuan sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan domestik (second class) menjadi perempuan yang lebih otonom dan penuh kebebasan. Dunia iklan bagi perempuan telah menjadi basis politik emansipasi dalam usaha perempuan untuk keluar dari ikatan-ikatan tradisional dan masa lalu.
Namun, sisi yang lainnya dari posisi ambigu tersebut adalah munculnya kegelisahan atau efek yang ditimbulkannya. Keterlibatan dalam dunia iklan telah menghegemoni perempuan yang lain untuk terlibat dalam arus kapitalisme yang sedemikian kokoh. Karena itu, dalam kaitannya dengan relasi gender, penyebaran dan sosialisasi budaya konsumen melalui iklan di media massa telah mengabaikan, dan bahkan mengeluarkan ide tentang kesetaraan gender. Budaya konsumen yang dibangun lewat iklan justru telah memproduksi dan memperkokoh konstruksi ketidakadilan gender. Citra perempuan kemudian tidak lebih sebagai komoditas ekonomi, sebagaimana produk yang ditawarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar