Selasa, 31 Maret 2009

Pemasaran dan Persepsi

Pemasaran dan Persepsi

Kalau Anda merasa bahwa diri Anda adalah manusia paling rasional, yang melihat sesuatu dari akal manusia, maka Anda salah besar. Di dunia marketing, tidak ada manusia yang rasional. Bahkan orang paling rasional pun menjadi tidak rasional pada saat berhadapan dengan dunia marketing.

Contohnya, banyak ibu rumah tangga memilih Rinso karena dianggap mencuci lebih bersih. Padahal ada banyak merek deterjen lain yang mencuci lebih bersih. Mengapa pula banyak orang menganggap Paramex lebih manjur dibandingkan obat lain, padahal komposisi kandungannya mirip-mirip dengan yang lain? Kedua merek ini bisa menjadi market leader (pemimpin pasar) sekalipun dari sisi kualitas maupun harga, ada yang lebih baik. Mengapa pula Avanza lebih laku dibandingkan Xenia, padahal Daihatsu (yang membuat Xenia) adalah pembuat mesin merek Avanza juga?

Jadi, manusia memang tidak bisa (atau sempat) mengevaluasi terlebih dahulu semua produk yang akan dibelinya. Begitu banyak informasi yang masuk sehingga membuat manusia mengandalkan persepsinya, kemauannya sendiri dan bahkan emosinya sendiri. Bersyukurlah kita karena manusia mengandalkan persepsi untuk membeli! Kalau mereka semua mengandalkan rasio maka hanya segelintir merek di dunia ini yang bisa bertahan.

Merek A bisa bertahan karena mengandalkan sekelompok orang yang memiliki persepsi yang baik terhadap merek A. Demikian sebaliknya, merek B bisa bertahan karena menyasar sekelompok orang lain yang memiliki persepsi yang baik terhadap merek B. Kalau semua orang bisa mengevaluasi dan melihat bahwa merek A memang memiliki kualitas yang lebih baik (dan bahkan harga yang lebih murah), maka semua orang akan memilih merek A.

Karena persepsi yang berbedalah yang membuat setiap orang punya pilihan yang berbeda. Persepsi adalah sesuatu yang dinilai atau dianggap secara subyekif oleh seseorang. Karena subyektivitas inilah yang membuat persepsi manusia bisa salah (dan ternyata kebanyakan juga salah!). Produk yang lebih jelek bisa dipersepsi lebih bagus dibandingkan yang lain.

Lalu apa sebenarnya yang membentuk persepsi? Lingkungan budaya, sosial, politik, ekonomi, demografis sampai gaya hidup bisa membentuk persepsi konsumen. Masyarakat perkotaan mungkin memilih bank yang terlihat megah karena dianggap memiliki aset banyak sehingga tidak akan bangkrut. Sementara masyarakat pedesaan mungkin lebih memilih bank yang bersahaja namun bersahabat.

Masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah umat muslim selalu mengaitkan Islam dengan warna hijau. Itulah sebabnya hampir semua produk yang bernuansa Islam biasanya mempergunakan warna hijau. Sementara hijau bisa diartikan orang lain sebagai produk ramah lingkungan.

Orang-orang yang cenderung berhaluan liberal menganggap sensualitas adalah bagian dari hak asasi manusia, sementara orang yang menganut paham konservatif melihatnya sebagai ketidaksenonohan. Ketika saya melakukan survei iklan di enam kota besar di Indonesia, ternyata mayoritas responden yang disurvei menganggap bahwa iklan Lux adalah iklan yang sensual. Padahal kalau saya melakukan observasi ke orang-orang iklan, semuanya mempertanyakan dimanakah letak sensualitasnya, sambil memberi contoh iklan-iklan lain yang lebih banyak memamerkan paha dan bagian sensitif wanita lainnya.

Unsur demografis seperti jenis kelamin, usia, pendapatan dan lain-lain bisa mempengaruhi persepsi. Semakin tua misalnya, persepsi kita makin berubah. Dulu ketika masih kanak-kanak, kita menyukai produk dengan aneka warna. Semakin beraneka warna semakin menarik. Ketika dewasa, membeli produk yang terlalu penuh dengan aneka warna kelihatan ”norak”.

Ada orang-orang yang menyukai gaya hidup berpetualang. Mereka menganggap mobil yang baik adalah mobil dengan kapasitas silinder besar dan mampu melewati medan sulit apapun. Sebaliknya orang yang gaya hidupnya family oriented menganggap mobil yang baik adalah mobil yang irit bahan bakar dan memuat banyak penumpang.

Itulah sebabnya jika Anda ingin menjadi seorang yang bekerja di dunia marketing, jangan pernah berpikir bahwa konsumen Anda adalah orang yang rasional. Banyak orang yang memiliki produk yang bagus merasa bahwa produknya akan laris. Padahal, meyakinkan orang bahwa produknya lebih bagus dari yang lain adalah pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi jika persepsi konsumen sudah lebih kuat pada produk yang lain. Kalau Anda merasa punya kopi yang enak, apakah Anda bisa mengalahkan kopi kapal api, yang memiliki slogan ”jelas lebih enak”? Atau, jika Anda bisa memproduksi mobil yang andal apakah Anda bisa mengalahkan Kijang yang selama puluhan tahun terkenal karena ”bandelnya”?

Tapi anda jangan berputus asa, karena sulit bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Persepsi ternyata juga bisa berubah. Semuanya tergantung pada bagaimana kita memberikan informasi kepada konsumen. Persepsi dibentuk dan berubah karena informasi yang masuk ke kepala konsumen. Itulah sebabnya marketer sering terlibat dalam ”perang iklan” untuk memasukkan (menjejalkan) informasi ke memori konsumen.

Seperti yang kita lihat yang terjadi pada perang kartu selular di Indonesia. Semua berusaha meyakinkan konsumen bahwa tarifnya lebih murah dibandingkan merek yang lain. Bahkan merek yang tarifnya sebenarnya lebih mahal pun beriklan bahwa mereknya lebih murah. Mereka semua bermain dengan persepsi konsumen. Jika tarifnya dihitung per menit lebih mahal, mereka merubahnya menjadi per detik. Sebagai konsumen seringkali Anda mudah tergoda membeli karena harga murah. Bayangkan jika ada tarif selular seharga 300 rupiah per menit sementara ada penawaran dari kompetitornya sebesar 6 rupiah per detik, mana yang akan Anda pilih?

Sebagian besar konsumen mungkin akan memilih yang kedua karena terkesan lebih murah. Padahal kalau Anda bicara selama satu menit, Anda harus mengeluarkan uang 360 rupiah, yang artinya nilainya lebih besar. Kondisi ini yang sering saya sebut sebagai price illusion, atau ilusi harga. Konsumen merasa lebih cerdas karena memilih yang sebesar 6 rupiah, padahal mereka belum tentu berpikir rasional.

Namun apakah salah jika kita mengatakan bahwa bahwa 6 rupiah per detik lebih menguntungkan? Bisa jadi ya. Jika pemasar yang pertama selalu membulatkan tarifnya ke menit dan Anda selalu menelepon di bawah 50 detik, Anda mengeluarkan uang yang lebih sedikit. Jadi, semua tergantung sudut pandang mana kita melihat.

Itulah sebabnya, dunia marketing adalah dunia yang relatif. Jangan jadi orang marketing kalau hanya berpikir secara absolut. Di dunia marketing tidak ada kebenaran absolut, karena semuanya bergantung kepada persepsi!

HIDUP kita sekarang ini telah terkepung oleh iklan. Iklan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari industri komunikasi. Simak saja di semua media massa (cetak maupun elektronik). Semuanya memiliki ikatan yang kuat dengan iklan. Bahkan, iklan menjadi ''nyawa''. Tanpa iklan, mustahil rasanya eksistensi sebuah media massa akan bertahan lama.

-----------------------------------

Dalam pemaknaan terkait dengan fungsinya, iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang -- dalam terminologi Yasraf Amir Piliang -- hiper-realistik. Apa yang ditampilkan dan dihadirkan oleh iklan bukanlah realitas (sosial, politik, ekonomi maupun budaya) yang sesungguhnya. Sesuatu yang tampak dan hadir dalam iklan sebenarnya tidak lebih dari ilusi atau rayuan terapeutis yang tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Tanda-tanda atau citra iklan tidak merefleksikan realitas, meskipun sebenarnya berusaha bercerita tentang realitas.

Dari sisi orientasi, iklan memiliki tujuan menggaet konsumen untuk membeli sebuah produk. Oleh karena itu, di dalam iklan ada kekuatan magis karena mampu mentransformasikan komoditas ke dalam pertanda yang glamor. Padahal, apa yang dihadirkan oleh pertanda tersebut sebenarnya sesuatu yang imajiner. Karena bersifat magis, iklan mampu menyihir konsumen untuk membeli sebuah komoditas.

Salah satu elemen yang menentukan dimensi magis dalam iklan adalah hadirnya sosok perempuan. Perempuan telah menjadi bagian sangat erat dari iklan. Eksistensinya diyakini dapat menggaet secara optimal minat konsumen terhadap suatu produk. Perempuan memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat dalam mempromosikan sebuah produk.

Walaupun memiliki posisi strategis, kehadiran perempuan dalam iklan sebenarnya sebuah dilema. Pada satu sisi, ia memiliki tugas membujuk nafsu beli melalui penikmatan zone erogen. Sementara di sisi yang lain, ia diletakkan dalam posisi yang tidak jelas. Apakah kehadirannya sekadar sebagai penyedap, mempertajam setting konsumerisme masyarakat, atau sekadar sebagai unsur pelengkap. Selebihnya, posisi perempuan justru menjadi sasaran dari iklan itu sendiri.

Dalam iklan, selain bahasa tubuh model, bahasa oral pun menjadi kias yang tidak dapat dirasionalkan. Jika kata-kata tidak mampu mendeskripsikan secara utuh pesan yang ingin disampaikan, maka organ tubuh perempuan model dalam iklan difungsikan sebagai bahasa diam yang visualistis. Maka, bahasa iklan (suara maupun olah tubuh) menjadi medium fantasi manusia dewasa.

Menghadapi Kapitalisme

Perempuan sesungguhnya tidak hanya berhadapan dengan kaum laki-laki, tetapi berhadapan dengan musuh besar yang tidak mungkin ditaklukkan, yaitu kapitalisme. Dalam relasi gender, laki-laki bahkan telah dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk bersama-sama melestarikan struktur relasi gender yang timpang. Pelestarian ketimpangan ini tidak hanya menyebabkan perempuan semakin tersubordinasi, tetapi juga menjadikan perempuan tersubordinasi oleh perempuan sendiri. Hal ini tampak dari posisi yang ditempati oleh perempuan dalam iklan, di mana pada satu sisi perempuan merupakan alat persuasi di dalam menegaskan citra sebuah produk. Sementara pada sisi yang lainnya, perempuan merupakan konsumen yang mengkonsumsi produk kapitalisme. Dua posisi ini telah mentransformasikan, tidak hanya kehidupan perempuan yang terlibat dalam iklan dan perempuan yang diacu oleh iklan, tetapi juga telah menata ulang keseluruhan hubungan dan tatanan sosial dalam suatu masyarakat, termasuk pola relasi gender.

Namun, peran perempuan dalam iklan sebenarnya bersifat ambigu. Iklan merupakan ruang gerak baru yang telah memungkinkan perempuan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri. Keseluruhan konsep perempuan kemudian mengalami transformasi, dari perempuan sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan domestik (second class) menjadi perempuan yang lebih otonom dan penuh kebebasan. Dunia iklan bagi perempuan telah menjadi basis politik emansipasi dalam usaha perempuan untuk keluar dari ikatan-ikatan tradisional dan masa lalu.

Namun, sisi yang lainnya dari posisi ambigu tersebut adalah munculnya kegelisahan atau efek yang ditimbulkannya. Keterlibatan dalam dunia iklan telah menghegemoni perempuan yang lain untuk terlibat dalam arus kapitalisme yang sedemikian kokoh. Karena itu, dalam kaitannya dengan relasi gender, penyebaran dan sosialisasi budaya konsumen melalui iklan di media massa telah mengabaikan, dan bahkan mengeluarkan ide tentang kesetaraan gender. Budaya konsumen yang dibangun lewat iklan justru telah memproduksi dan memperkokoh konstruksi ketidakadilan gender. Citra perempuan kemudian tidak lebih sebagai komoditas ekonomi, sebagaimana produk yang ditawarkan.

Senin, 30 Maret 2009

komunikasi massa

Beberapa defenisi komunikasi massa.

(Ruben, 1992) Komunikasi massa adalah proses di mana informasi diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh khalayak.

(Bittner, 1980), Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang.

(DeFleur dan Denis, 1985), Komunikasi massa adalah suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara.

Joseph A. DeVito merumuskan komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa, serta tentang media yang digunakannya. Ia mengemukakan definisinya dalam dua item, yakni “Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak yang meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan/atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio siaran, surat kabar, majalah dan film”.

Karakteristik komunikasi massa

1. Ditujukan pada khalayak yang luas, heterogen, anonim, tersebar dan tidak mengenal batas geografis-kultural.

2. bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Kegiatan penciptaan pesan melilbatkan orang banyak dan terorganisasi.

3. pola penyampaian bersifat cepat dan tidak terkendala oleh waktu dalam menjangkau khalayak yang luas.

4. penyampaian pesan cenderung satu arah.

5. kegiatan komunikasi terencana, terjadwal dan terorganisasi.

6. penyampaian pesan bersifat berkala, tidak bersifat temporer.

7. isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya, politik dll)

Model dan fungsi komunikasi massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell. Sumbangan pemikiran Lasswell dalam kajian teori komunikasi massa adalah identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan-kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28-29).

Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28).

Teori Satu langkah

Teori satu langkah berpendapat bahwa pengaruh media bersifat langsung dan segera. Misal anda membaca surat kabar, apa yang diyakini oleh anda yang dibaca, sebagai akibatnya, anda mengubah pemikiran dan perilaku anda sesuai dengan apa yang disuntikan oleh media. Pesan merasuk hanya satu langkah, dari media kepembaca.

Variasi dari teori ini dinamai teori peluruh (teori jarum suntik) dari ahli teori Wilbur Scharmm (Scharmm dan Proter, 1982). Teori ini mengatakan bahwa media bekerja seperti peluruh yang dibidikan kearah sasaran. Jika senapan diisi secara benar dan dibidikan secara akurat, peluruh akan menembus sasaran, artinya, media akan menghasikan efek yang diinginkan akan khalayak sasaran. Menurut pandangan ini, khlayak seperti sasaran tembak, bersifat pasif dan tidak menujukan penolakan, seperti halnya sasaran tembak tidak dapat menolak untuk ditembus.

Meskipun teori peluru secara luas tidak dipakai lagi dalam penelitian komunikasi massa, akan tetapi ada beberapa kelompok yang tetap percaya bahwa teori tersebut masih tetap ada. Beberapa tokoh berpendapat bahwa teori “media massa mempunyai kekuatan fantastis dalam mengubah opini publik” merupakan salah satu pengaruh dari teori peluru ini.

Teori peluru (the bullet theory of communication) merupakan konsep awal sebagai efek komunikasi massa. Dikalangan para teoritis atau pakar komunikasi di tahun 1970-an dinamakan hydropodemic needle theory yang dapat diterjemahkan sebagai teori jarum hipodermik. Teori ini, pada awalnya ditampilkan sejak tahun 1950-an, Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori peluru komunikasi itu dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif. Statement Schramm tentang pencabutan teorinya itu didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Rauymond Bauer. Beliau mengatakan, jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembak. Kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Adakalanya, efek yang timbul sangat berlainan dengan tujuan si penembak. Sering kali pula, khalayak yang digunakan yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak.

Teori Peluru tidak berfokus kepada unsur sebuah komunikasi, akan tetapi lebih kepada kajian tentang efek yang muncul setelah terjadinya komunikasi. Teori ini menyatakan bahwa efek komunikasi bisa saja melenceng dari tujuan yang ingin dicapai oleh komunikator, bahkan bisa tidak mengena hingga tidak menimbulkan efek , dan efek komunikasi tidak akan bisa ditarik setelah pesan dikirimkan.

Teori ini merupakan sebuah teori klasik dalam komunikasi massa yaitu Teori Peluru (Bullet Theory) yang disebut juga teori jarum suntik. Teori ini mengatakan bahwa efek komunikasi atau media kepada masyarakat adalah seperti seseorang menembakkan peluru atau dokter yang menyuntik pasiennya: langsung kena. Teori ini banyak dikritik lantaran menganggap masyarakat sebagai pemirsa yang pasif dan tidak memiliki pilihan. Namun, untuk konteks masyarakat Indonesia teori ini amat sangat benar. Kebanyakan masyarakat kita memang manusia-manusia yang ''tidak memiliki pilihan.'' Masyarakat kita masih sangat dikendalikan oleh stimulus.

Banyak kasus menunjukkan bahwa stimulus senantiasa diikuti oleh respons. Lihatlah beberapa contoh kecil: perkelahian antarkampung yang dipicu oleh perselisihan dua pemuda, anak-anak SD yang memperkosa anak balita setelah menyaksikan video porno, dan sebagainya.

Teori Jarum Suntik mengindikasikan bahwa massa dalam posisi lemah. Praktisi kemudian memanfaatkannya; jarum suntik yang dipegangnya penuh berisi cairan obat lalu disuntikkan. Cairan segera menjalar ke seluruh tubuh pasien. Isi jarum suntik tersebut adalah isi (pesan) media dan pasien adalah massa.

Anggapan yang sama juga ditunjukkan oleh Teori Peluru yang berkuatan besar dan mematikan seperti peluru yang ditembakkan kepada massa yang tidak berdaya. Kedua teori seolah-olah menganggap media seperti diktator yang mempunyai kekuatan besar berhadapan dengan rakyat (massa) yang tak berdaya.

Teori dua langkah

Seperti yang telah dikemukakan oleh Wilbur Schramm dan william Poter(1982), konsep dua langkah, meskipu bermanfat dan jelas, terlalu sederhana, satu hal teori ini tidak selalu benar. Banyak dari informasi yang kita terima berasal dari media. Media massa kini, khsusnya televisi mempunyai kredibilitas yang tinggi. Banyak orang yang menerima apa yang mereka dengar lihat dilayar televisi sebagai kebenaran tanpa membutuhkan pendapat orang lain.

Beberapa usulan oleh Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, Dan Hellen Gaudet para riset menemukan bahwa orang lebih dipengaruhi oleh orang lain daripada oleh media massa (terutama suratkabar dan radio) mereka yang menyebarkan pengaruh ini adalah pembawa pengaruh (opinion leader). Komunikasi massa, kata para periset, tidak secara langsung mempengaruhi orang. Menurut pandangan ini, pesan dari media mempengaruhi pembawaan pengaruh. Kemudian pembawa pengaruh mempengaruhi rakyat (massa) dalam situasi yang lebih antar pribadi. Pembawa pengaruh (opinion leader) menerima informasi dari media dan menyalurkannya kepada teman mereka. Penentu opini adalah dalam semua kelompok : pekerjaan, sosial, masyarakat dan lainnya. Individual ini sulit dibedakan dari anggota kelompok lain karena kepemimpinan opini bukan merupakan pemberian namun merupakan peran yang diambil oleh beberapa individu dalam keadaan tertentu. Kepemimpinan pendapat berubah dari waktu ke waktu dari isu ke isu.

Teori multi langkah

Dikembangkan sebagian besar dari akibat kritikan tehadap teori dua langkah, Teori multi langkah bahwa pengaruh mengalir ulang-alik dari media ke khalayak ( yang berinteraksi satu sama lain), kembali ke media, kemudian kembali lagi ke khalayak, dan seterusnya. Banyak langkah yang harus di telaah sebelum kita dapat mulai menjelaskan pengaruh atau efek dari media.

Proses ulang-alik ini terutama berlaku untuk masa kini, dimana media merupakan bagian penting dari kehidupan kita, rasanya logis bahwa orang yang membuka diri terhadap satu media seringkali juga akan terbuka terhadap media yang lain. Tidak terhikan bahwa hal yang sama dan hal yang baru diberitakan di banyak media yang berbeda. Selanjutnya kita harus mengansumsikan bahwa interaksi antarapribadi terjadi diantara paparan-paparan media. Selama pemaparan ini, baik terhadap media maupun dalam interaksi antarpribadi, kita dipengaruhi dan mempengaruhi yang lain.

Khachleen Hall Jamieson dan Karlyn Kohrs Campbell (1988), mengatakan kita dapat secara efektif mempengaruhi media dengan empat cara yaitu; pertama, menyampaikan keluhan individual. Misalkan menulis surat kepada media yang bersangkutan/kritikan. Kedua, mengorganisirkan tekanan masyarakat untuk memboikot Stasiun pemancar media massa. Ketiga, Mendesak pihak yang bersangkutan (berwenang) untuk mengambil tindakan tertentu. Keempat, mengadu kepihak yang berwajib.

Teori multi langkah ini tampaknya lebih akurat dalam menjelaskan apa yang dterjadi dalam pembentukan opini dan sikap. Teori ini penting dalam mengilustrasikan bahwa setiap orang dipengaruhi baik oleh media maupun oleh interaksi antarpribadi, dan selanjutnya mempengaruhi media dan orang lain.

Teori Difusi Inovasi

Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi (atau komunikasi), dan konsekwensi-konsekwensi. Perubahan seperti di atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama.

Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336).

Teori kultivasi

Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania. Dalam riset proyek indikator budaya terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya (Baran, 2003 : 324-325). Pertama, televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut melek huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara. Kedua, medium televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika, karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi. Ketiga, persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara dan cerita (drama). Keempat, fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan) Kelima, observasi, pengukuran, dan kontribusi televise kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan.

Agenda Setting

Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk penulisan jurnalistiknya, pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan pandangan bahwa respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan, melainkan “menggambarkan di dalam kepala,” yang dia sebut sebagai pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341).

Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan teman-teman mereka. Menurut mereka: Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka menjalani tugas sehari-hari dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh media massa ini –kemampuan untuk memberi pengaruh perubahan secara kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label sebagai fungsi penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental mengurutkan dan mengorganisir dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa mungkin tidak akan berhasil dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita, namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341).

Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media, harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam beberapa cara mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda politik. Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian, agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti yang nyata dari fungsi ini. Tatkala harga-harga kebutuhan pokok semakin melejit dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramai-ramai memberitakan kejadian ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu juga semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh.

Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda media. Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari hubungan sebab akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah). Lebih jauh lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik agenda media dan agenda publik.

Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi. Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media. Kedua, adalah dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua waktu, yang disebut persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga di mana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang diprediksi oleh teori agenda setting (McQuail, 2002 : 456).

Teori Komunikasi Massa Terhadap Individu dan Masayarakat

Teori nilai harapan

Teori ini mendasarkan diri pada orientasi khalayak sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya. Intinya, sikap Anda terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan tentang penilaian Anda terhadap media tersebut. Palmgreen dkk. (dalam Littlejohn, 1996:345) membatasi gratification sought (pencarian kepuasan) berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi Anda terhadap isi media tersebut.

Teori Keheningan (Spiral of Silence Theory)

Dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neumann tahun 1984. Teori ini menjelaskan mengapa dan bagaimana orang sering merasa perlu untuk menyembunyikan (to conceal) pendapat-pendapatnya, preferensinya (pilihannya), pandangan-pandangannya, dsb., manakala mereka berada pada kelompok minoritas.

Secara ontologis kita bisa melihat bahwa teori ini termasuk kategori ilmiah. Teori ini mempercayai bahwa sudah menjadi nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pandangan (yang dominan) bergantung kepada suara mayoritas dari kelompoknya. Seperti halnya teori-teori yang lain, teori ini juga bukan tanpa kritik. Berlakunya teori ini hanya situasional dan juga kontekstual, yakni hanya sekitar permasalahan pendapat dan pandangan pada kelompok. Sedangkan untuk ketentuan lain, seperti pendapat tentang suatu keahlian, misalnya untuk suatu penemuan ilmiah dan keahlian lainnya, tidak didasarkan pada pendapat kelompok.

Teori persamaan Media ( Media Equation Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass, tahun 1996. Teori ini menjelaskan dan meramalkan mengapa orang secara tidak sadar dan secara otomatis merespons terhadap media komunikasi seperti halnya kepada manusia. Teori ini juga melihat adanya proses komunikasi interpersonal antara individu dengan media yang dihadapinya. Kita berkomunikasi dengan komputer dan media lainnya seperti kita berkomunikasi dengan manusia. Kita juga terkadang berkomunikasi dengan hp (hand phone), bukan berkomunikasi dengan orang melalui penggunaan hp, melainkan berkomunikasi dengan hp itu sendiri, ketika sedang ‘browsing’.

Teori ini melihat komunikasi interpersonal antara individu dan media. Kita berbicara dengan komputer kita, dan kita menerapkan hubungan pribadi layaknya komputer itu adalah seorang manusia. Kita secara tidak sadar memperlakukan media tersebut layaknya seperti manusia. Teori ini termasuk teori empiris (positivis). Teori ini lulus dalam kriteria teori empiris dari Chaffee & Berger’s 1997 yang mengatakan bahwa:

1. Teori ini memprediksi bagaimana seseorang memperlakukan media (berdasarkan teori interpersonal) layaknya media itu adalah manusia.

2. Teori ini menjelaskan bahwa pemirsa adalah aktif

3. Teori ini relatif mudah dimengerti

4. Teori ini termasuk aliran positivis (generalisasi, satu kebenaran, perilaku bisa diprediksi, dan tidak melihat nilai-nilai yang dianut seseorang).

Uses and Gratifications (kepuasan dan pengguna)

Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa (Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut : Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi. Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan social . Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388). Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam.

Menurut para pencetusnya, Elihu Katz, Jay G. Blumler dan MichaelGurevitch, uses and gratification meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Asumsi-asumsi dari teori ini adalah sebagai berikut :

1. Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.

4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

5. Penilaian tentang arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk suprarasional yang sangat efektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan..

Pendekatan uses and gratification di atas mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media untuk pemuasan kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita ingin tahun bukan untuk apa kita membaca suratkabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana suratkabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)

Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Griffin, EM. (2003). A First Look at Communication Theory, 5th Edition. USA: McGraw-Hill

Joseph A. Devito (1996). Humman Communication.Hunter Collegen Of The City University Of New York

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Group

Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Djuarsa S. Senjdjaja. (2003), Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Universitas Terbuka,